Jayus, Sang Penjual Kursi



Awalnya Jayus hanyalah seorang guru honorer di salah satu SMA swasta. Seorang guru yang brilian pada pelajaran yang dipegangnya, kimia. Sebulan ia mendapat jatah mengajar duapuluh jam pelajaran. Dengan honor dasar per-jam tujuh belas ribu rupiah, sebulan Jayus mendapat “gaji” bersih tiga ratus lima puluh ribu rupian. Tak lebih, tetapi bisa kurang. Honor itu sepadan dengan pendapatan seorang penjaga toko baju di salah satu mal yang hanya lulusan SMP. Namun, Jayus tak mempersoalkan honor kecilnya. Ia tetap fokus pada tugasnya mengajar kimia. Justru honor kecil dijadikannya pelecut meningkatnya keterampilan sebagai pengajar. 

Dasar Jayus jenius, tak butuh waktu lama, dia pun menjadi guru idola. Cara mengajarnya banyak disukai siswa. Jayus sukses membalik paradigma kimia sebagai pelajaran paling menakutkan menjadi pelajaran paling disukai. Para muridnya belajar kimia dengan penuh suka cita. Bahkan, mereka minta tambahan jam pelajaran di luar sekolah. 

Pengakuan dari mulut ke mulut menjadikan nama Pak Jayus populer. Mereka menyebutnya Pak Jayus guru jenius. Permintaan menjadi pengajar di SMA lain pun berdatangan. Tak hanya itu, sejumlah lembaga bimbingan belajar memberinya honor lebih besar daripada yang ia terima dari sekolah tempatnya mengajar. Jadilah Jayus guru paling sibuk dengan jadwal mengajar sepuluh jam pelajaran sehari, tujuh puluh jam seminggu, dua ratus delapan puluh jam sebulan. Dengan honor dasar dua puluh lima ribu tiap jam pelajaran, bisa dibilang, gaji Jayus sebagai guru honorer mencapai lima juta enam ratus ribu rupiah per bulan. Jauh lebih besar daripada guru jujur yang baru diangkat menjadi PNS. Honor besar itu pula yang kemudian menjadi sumber ke-irihati-an guru-guru lain.

Prestasi dan kejeniusan Jayus sebagai guru kimia dinafikan. Kepiawannya menjadikan kimia sebagai pelajaran yang ramah dan mudah, dianggap merusak pakem nilai sakral kimia. Kata mereka, kimia perlu dipertahankan sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan. Kreativitas Jayus menjadikan kimia ramah dan mudah, dianggap sebagai bid’ah dalam dunia pendidikan. Mereka tanpa malu-malu membuat kesepakatan gila, menempatkan Jayus sebagai guru yang aneh, sinting, dan membahayakan masa depan sistem pendidikan, yang konon sudah punya tatanan sendiri. 

Jayus pun kena resolusi para guru. Jayus terdepak, bukan hanya dari SMA tempatnya mengajar, tetapi juga dari lembaga bimbingan belajar. Yang lebih tragis, Jayus kena cekal, dilarang menjadi guru di semua mata pelajaran, karena dianggap sebagai ancaman dan penyebar aliran sesat. Jayus tak marah. Ia juga tak menyesali nasibnya. Ia menyadari, takdir telah mengikatnya dalam satu pilinan tali kehidupan yang harus ia jalani. 

Dalam pandangan Jayus, menerima dan menjalani takdir merupakan bagian dari sikap religius. Jayus tak ingin berlama-lama membuang setiap kesempatan dalm hidupnya, bahkan barang sedetik pun. Baginya, apa yang telah terjadi kemarin sudah lewat. Tak perlu dikejar lagi. Hanya ada satu jalan bagi Jayus, terus berjalan ke depan. Soal pekerjaan, Jayus tak ambil pusing. Baginya pekerjaan tak harus pilih-pilih, karena semua jenis pekerjaan punya sifat yang sama, ketika digarap serius dan tulus, kesuksesan bisa datang dengan sendirinya. 

Sebagai ahli kimia, Jayus percaya kepada peluang dan momentum. Ketika seseorang mendapat peluang dan memanfaatkannya dalam momentum yang tepat, orang itu bakal sukses. Jayus juga percaya, peluang Cuma datang sekali dalam hidup. Ketika peluang itu datang menghampiri, jangan sia-siakan, ambillah, dan manfaatkan. Oleh karena itu, ketika seorang tetangganya datang minta dicarikan kursi, Jayus menyambutnya dengan penuh antusias. 

Otak Jayus bekerja cepat. Sorot matanya berbinar-binar. Jayus melihat peluang panjang didepannya. Ia memutuskan menjadi penjual kursi dan menjadikan tetangganya sebagai konsumen pertama. Keputusan Jayus tak salah. Sejak saat itu, permintaan kursi kepada Jayus berdatangan. Tak hanya kursi yang terbuat dari bahan kayu dan plastik, konsumen juga minta dibuatkan kursi berbahan metal, marmer, bahkan rangka binatang langka. Jayus kian sadar, betapa luasnya peluang di bisnis perkursian. Selama orang masih ingin duduk, kursi pasti dibutuhkan. Dan selama orang ingin duduk nyaman, maka kursi yang nyaman dan terbaik diminati, tak peduli harga tinggi. 

Jayus sukses menjadi saudagar kursi. Dasar jenius, Jayus melihat peluang lain di bisnis perkursian. Ia melihat sisi lain dari jiwa manusia. Kursi tak sekedar berfungsi sebagai tempat menyandarkan tubuh dikala lelah. Kursi juga perlambang status sosial dan kepangkatan. Kalau sudah menyangkut status sosial dan kepangkatan, harga kursi menjadi tak berhingga. Orang akan rela mengeluarkan uang berapa pun asal status sosialnya terangkat. Ya, kini Jayus tengah membidik pangsa pasar lain dalam bisnis perkursian. Ia harus menyediakan jenis-jenis kursi khusus.

Tak sulit bagi Jayus untuk memulai lini baru usahanya. Sebagai mantan guru, ia paham betul hitam putih dunia pendidikan. Di balik status mulia sebagai pencerdas bangsa, sektor pendidikan sebenarnya menyimpan sisi gelap. Ada banyak celah dan peluang bisnis di dalamnya. Salah satunya bisnis kursi. Peluang itu pula yang kini coba dimasuki Jayus. Jayus mendatangi salah satu SMP Negeri ternama dan favorit yang sudah berstatus RSBI, menawarkan proposal kerjasama. Intinya, Jayus menyediakan kursi-kursi bagi calon siswa yang ingin diterima si SMP tersebut. Proposal dan presentasinya memang tak resmi, bahkan dianggap ilegal, tetapi diterima dengan tangan terbuka oleh pihak sekolah. Syaratnya hanya satu, Jayus harus pandai tutup mulut. Jika terjadi sesuatu, semua tanggung jawab ada di tangan Jayus. Tak masalah bagi Jayus, karena otaknya sudah memperhitungkan dengan matang dampak dan resiko pekerjaannya. 

Mulailah Jayus menjual kursi bagi calon siswa SMP. Tarifnya antara lima sampai sepuluh juta rupiah per kursi. Di tahun pertama bisnisnya, kursi-kursi yang ditawarkan Jayus mendapat respon luar biasa. Permintaan dari para orang tua siswa membludak tak terkendali. Permintaan kursi juga datang dari para orang tua yang anaknya pindah sekolah. Jumlahnya memang tak seberapa, tetapi tarifnya menggiurkan. Apalagi, jika yang dibeli adalah kursi SMP kluster satu dan berstatus SBI. 

Sejak saat itu, nama Jayus sebagai penjual kursi SMP kian populer. Di tahun ajaran berikutnya, Jayus mulai menyediakan kursi untuk siswa SMA dan perguruan tinggi. Tarifnya bervariasi, tergantung pada status dan kluster sekolah. Untuk SMA kluster satu dan berstatus RSBI, tentu saja harga kursinya selangit. Dari belasan juta hingga puluhan juta rupiah per kursinya. Kursi-kursi merek Jayus terjual bak kacang goreng. Konsumen Jayus yang sebagian besr pejabat dan pengusaha kaya, tak ragu menggelontorkan uangnya. Yang penting anak mereka bisa duduk di kursi SMA dan perguruan tinggi favorit serta bergengsi. Tak peduli nanti anak-anak mereka bisa mengikuti pelajaran tau malah menjadi alien di tengah komunitas yang sebenarnya tak pantas mereka masuki. 

Sebagai orang cerdas dan jenius, Jayus sangat memahami dunia bisnisnya. Ia tahu, konsumennya adalah orang-orang kaya yang menghalalkan segala cara. Ia tahu bahwa sebagian uang yang dibayarkan kepadanya diperoleh dengan cara salah, korupsi dan mencuri. Akan tetapi apa pedulinya? “Aku hanya penjual kursi, apa salahnya? Jika pun uang untuk membeli kursi-kursiku hasil korupsi, itu bukan urusanku”, ujar Jayus, ketika seorang kawan bertanya kepadanya. 

Nama Jayus kian populer saja. Bahkan kini nama itu identik sebagai merek kursi yang harganya mahal. Jayus menjadi garansi bagi siapapun yang ingin duduk dimana saja. Otak bisnis Jayus terus bekerja. Dalam benaknya, skala bisnis kursi masih bisa diperluas di bidang lain. Jayus pun mulai menjual kursi-kursi, untuk para pencari kerja di lembaga-lembaga pemerintahan. Mulai dari guru honorer seperti dirinya yang ingin cepat diterima menjadi PNS, lulusan sekolah hukum yang ingin jadi jaksa, sarjana ekonomi yang ingin bekerja di perpajakan, hingga lulusan UIN yang ingin mengabdi di kementrian agama. Semua kursi disediakan Jayus dengan tarif variatif. 

Banyak juga pejabat yang ingin naik pangkat memesan kursi ke Jayus. Mereka berbondong-bondong mendatangi Jayus. Rumah Jayus pun dipenuhi manusia yang berbaris dalam antrian panjang. Bagi yang ingin mendapat pelayanan istimewa, mereka memberi booking fee jauh-jauh hari. Tak hanya pejabat dari instansi negeri, calon anggota dewan, calon bupati dan walikota, calon menteri dan calon pengurus organisasi yang anggarannya berasal dari kas negara, semua rela menggelontorkan ratusan juta rupiah untuk membeli kursi ke Jayus. Tidaklah mengherankan, kurang dari lima tahun sejak pertama menjadi penjual kursi, Jayus benar-benar menjadi orang sukses. Kekayaannya melimpah ruah. Bersama istri dan kedua anaknya, Jayus hidup dalam gelimang harta dan ketenaran. Rumahnya sangat megah dan mewah. Mobilnya ada sepuluh dengan merek berbeda. Semuanya berkelas dan harganya diatas satu milyar. Jayus pun dikenal sebagai donatur lembaga pendidikan, mendirikan Jayus Fund yang memberi beasiswa kepada siswa berprestasi. 

Di kalangan agamawan, Jayus juga dianggap sebagai pengusaha yang saleh dan dermawan. Belasan masjid agung dibangun. Beberapa pesantren diberinya sumbangan. Jayus juga diabadikan sebagai nama lembaga pendidikan terpadu, Institut Terpadu Jayusman. Bahkan, beberapa santri mengkultuskan Jayus sebagai salah satu sosok yang setiap ucap dan tindakannya harus dituruti. Nama dan sosok Jayus sangat populer. Tak ada satu pun media di negeri ini yang luput memberitakan sepak terjang Jayus sebagai penjual kursi. Sudah sering foto wajah Jayus terpampang di halaman muka media cetak. Media televisi antre menampilkan Jayus di program acara favorit yang ditayangkan pada prime time mereka. Namanya kian mendunia ketika majalah Time menempatkan foto wajah Jayus di halaman muka dengan judul “Man of The Year.” Sepak terjang Jayus dengan bisnis kursinya dianggap sebagai lompatan sukses anak bangsa dan memberi inspirasi banyak orang. 

Namun, hidup Jayus seperti roller coaster, cepat naik dan cepat pula turunnya. Nasib bisnis kursi Jayus tampaknya sudah mencapai puncaknya. Popularitas dan pemberitaan luas di media massa, menjadi bumerang bagi bisnis kursi Jayus. Tanpa diduga-duga, satu gerakan massal yang masif, begitu saja menjungkalkan posisi Jayus. Ia dituding sebagai makelar kasus, dalang berbagai penyuapan, dan pemicu tindakan korupsi. Entah pasrah atau menyadari kesalahannya, ketika seorang wartawan bertanya kepadanya bagaimana komentarnya atas tudingan itu, Jayus dengan tersenyum menjawab, “Saya hanya penjual kursi, terserah orang mau bilang apa.” 

Kini, Jayus berada pada titik terendah tingkat kehidupannya. Bisnisnya hancur total. Semua yang sudah ia raih dan kumpulkan, hilang lenyap tak berbekas. Sebagian disita negara, sebagian lagi dijarah massa. Semua produk dengan merk Jayus diberangus. Yang tersisa hanya satu kursi kecil, yang ia sengaja bawa ke penjara. Akan tetapi, Jayus tidak menyesal. Apalagi marah. Ia tetap tersenyum. Jayus selalu percaya, dimanapun berada, selalu ada peluang baru untuk memulai sesuatu yang baru, membangun kehidupan, dan meraih kejayaan. 

Tak butuh waktu lama bagi Jayus memahami dunia penjara. Otaknya yang jenius langsung merespons peluang besar bisnis dalam hotel prodeo, yang penghuninya kian berdesak-desak itu. Peluang yang memungkinkannya meraih kejayaan melebihi pencapaiannya sebagai penjual kursi. Jayus terbahak. Suaranya keras menggema, membelah dinginnya udara malam, menembus celah-celah jeruji besi, hingga menohok gendang telinga ribuan narapidana. Semua penghuni penjara terperanjat, tetapi kemudian tersenyum dan ikut terbahak. Mereka saling bersahutan, seperti lolong ribuan serigala di hutan yang menyambut kedatangan sang raja. Ya, para penghuni penjara yang sebagian besar para koruptor itu sadar bahwa sang penyelamat telah datang. Mereka kini tahu, nasib mereka tak lagi berada di tangan hukum, tetapi ada di tangan penghuni baru bernama Jayus 

***dikutip dari selembar sobekan koran yang edisi terbitnya tidak diketahui dengan pengubahan seperlunya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment