Belajar adalah kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya dan atau pengabsahan terhadap penguasaan atas materi-materi yang telah dipelajari. Belajar dapat pula didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu individu berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Melalui belajar, individu memperoleh perubahan-perubahan dalam dirinya atau kematangan kepribadiannya, baik yang menyangkut aspek-aspek intelektual, emosional, sosial, maupun moral-spiritual. Untuk mewujudkannya, guru dituntut untuk lebih maksimal dalam membimbing dan mengarahkan siswanya untuk belajar. Sebagai designer instruction (perancang pengajaran), seorang guru dituntut untuk senantiasa mampu merancang kegiatan belajar mengajar yang berhasilguna dan berdayaguna.
Salah satu tugas guru adalah memilih dan menggunakan metode penyajian bahan pelajaran yang tepat. Oleh sebab itu, guru harus memahami betul metode dan model pembelajaran yang tepat digunakan untuk menyampaikan materi pada siswanya. Siswa sebagai subjek belajar harus mendapat posisi sentral dalam pembelajaran, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal.
Mencermati kurikulum 2013 yang menghendaki proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered active learning) dengan sifat pembelajaran yang kontekstual serta menggunakan prinsip pendekatan ilmiah (scientific approach) yang diterapkan melalui lima langkah, yaitu mengamati, bertanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan, maka diperlukan model pembelajaran yang dapat menunjang tercapainya tujuan kurikulum 2013.
Model pembelajaran adalah landasan praktik di depan kelas hasil penurunan teori psikologi dan teori belajar. Model pembelajaran dirancang berdasarkan proses analisis potensi siswa, daya dukung dan keterkaitan dengan lingkungan. Dalam implementasi kurikulum 2013, model pembelajaran yang digunakan itu hendaknya berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving) agar dapat melatih keterampilan berpikir.
Salah satu model yang dapat melatih pemecahan masalah (problem solving) dan keterampilan berpikir adalah model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS). Model ini pertama kali dikembangkan oleh Edward L. Pizzini pada tahun 1988 pada mata pelajaran sains (IPA).
Model SSCS ini sangat efektif, dapat dipraktekkan, dan mudah untuk digunakan. Model pembelajaran ini terbagi ke dalam empat fase, yaitu: (1) Fase Search (mendefinisikan masalah); (2) Fase Solve (mendesain solusi); (3) Fase Create (memformulasikan hasil); dan (4) Fase Share (mengkomunikasikan hasil).
Pada fase awal, yaitu fase search, siswa disuguhkan fakta melalui wacana atau permasalahan kontekstual terkait materi yang akan dipelajari. Dari fakta tersebut diharapkan siswa mampu memunculkan permasalahan untuk kemudian didefinisikan dan dibuat hipotesisnya. Pada fase ini, siswa melakukan identifikasi terhadap wacana atau permasalahan kontekstual yang diberikan oleh guru untuk merumuskan masalah dengan membuat pertanyaan-pertanyaan dan menganalisis informasi yang tersedia. Dari sekian banyak pertanyaan yang mereka buat, siswa kemudian mengerucutkan pertanyaan dengan memilih satu pertanyaan yang paling mendasar dan bisa diselidiki untuk dicari jawaban atas pertanyaan tersebut pada fase berikutnya.
Selanjutnya berdasarkan permasalahan yang telah didefinisikan dalam bentuk pertanyaan tersebut, siswa membuat prediksi awal atas pertanyaan yang dipilih, kemudian dengan arahan guru siswa merancang suatu eksperimen/penelitian untuk memperkuat gagasannya dan membuktikan hipotesis mereka pada fase solve. Pada fase solve ini, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dilatih. Siswa diarahkan untuk menemukan konsep sendiri dengan kreativitas yang dimilikinya. Dalam fase ini siswa digiring untuk membuat kesimpulan hasil eksperimen/penelitian yang mereka lakukan. Dalam fase ini pula, siswa dilatih berpikir secara kreatif, yaitu menghubungkan fenomena dalam eksperimen/penelitian rancangannya dengan konsep-konsep yang akan dipelajari.
Pada fase selanjutnya, yaitu fase create, siswa dituntut untuk membuat produk yang terkait dengan permasalahan yang ditemukan pada fase sebelumnya, membandingkan data dengan masalah, melakukan generalisasi, jika diperlukan memodifikasi. Produk yang dihasilkan merupakan pengolahan data hasil penemuan pada fase search dan solve yang dituangkan dalam laporan hasil kerja atau hasil penemuannya serta membuat charta untuk mempresentasikan laporan. Pada fase ini, dituntut kreativitas siswa dalam mengaplikasikan konsep yang mereka temukan.
Fase yang terakhir yaitu fase share (mempublikasikan hasil). Pada fase ini siswa melaporkan hasil penyelidikan dari fase search, solve, create, dan share. Pada fase ini siswa dilatih untuk mengemukakan gagasan dalam lingkup yang lebih luas serta dilatih cara berkomunikasi yang baik. Dalam fase share ini siswa dapat saling membagi ide, cara penyelesaian masalah untuk menambah pemahaman tentang konsep yang mereka pelajari.
Melalui proses problem solving ini diharapkan siswa akan mampu menjadi pemikir yang handal dan mandiri. Mereka dirangsang untuk mampu menjadi seorang eksplorer, mencari penemuan terbaru, inventor mengembangkan ide/gagasan dan pengujian baru yang inovatif, desainer mengkreasi rencana dan model terbaru, pengambil keputusan handal, berlatih bagaimana menetapkan pilihan yang bijaksana, dan sebagai komunikator mengembangkan metoda serta teknik untuk bertukar pendapat dan berinteraksi.
Dengan diterapkannya model SSCS dalam kegiatan pembelajaran, siswa dapat diarahkan untuk berpikir secara kreatif, memecahkan masalah secara kreatif, menemukan konsep sendiri serta membangun pemahamannya sendiri melalui fase pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, kreatif, dan menyenangkan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon