PERJALANAN MIMPI



Waktu kecil aku punya beberapa cita-cita. Tiga yang paling kuingat adalah menjadi pengamen, menjadi ketua MPR dan satu lagi menjadi guru. 

Pertama aku pengen jadi pengamen. Kulihat enak sekali jadi pengamen. Setiap liburan sekolah aku pergi ke rumah Uwa di Bandung naik bus, kulihat pengamen bernyanyi, lalu memintai uang setiap penumpang, sehingga di topinya penuh dengan uang. Lalu dalam hati aku bergumam, “kalau besar nanti aku mau jadi pengamen, supaya dapat uang banyak dengan hanya bernyanyi.” 

Cita-cita yang kedua, aku ingin jadi ketua MPR, karena saat itu aku tahu betul bahwa bupati, gubernur, bahkan presiden sekalipun tunduk padanya. Terlebih yang sedang menjadi topik pembicaraan saat itu adalah Amien Rais. Semakin heroik saja suasana kepalaku saat itu. Faktanya memang, kalau sekarang orang nomor wahid tidak bisa diturunkan dari kursinya kecuali rakyat yang menurunkan sendiri. Kalau dulu, Pak Amien-lah yang berkuasa. Buktinya, tahun 2002 Gus Dur tersingkir dari kursi presiden gara-gara ketukan palunya. 

Cita-cita yang ketiga waktu kecil, aku ingin jadi guru. Yang ini tak punya alasan yang cukup kuat. Penyebabnya barangkali karena aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai guru, jadi nampaknya wajar kalau profesi guru menjadi pilihan cita-citaku saat itu. Apalagi ibuku juga seorang guru, sering mengajak aku kecil ke sekolah tempat beliau mengajar.

Ternyata cita-cita yang ketiga itulah yang paling melekat dalam benak. Waktu SD aku selalu ingin mencium tangan guruku, dan itu aku lakukan dengan berebut antar sesama teman. Mencium tangan guru adalah hal yang amat prestisius bagiku dan teman-temanku kala itu. Maka sejak saat itulah aku semakin ingin menjadi guru, karena kulihat betapa guru dijunjung tinggi oleh murid-muridnya. Sekarang guru-guru SD-ku rata-rata sudah pensiun. Tapi pelajaran dan kesan berharga dari mereka masih bertahan dan membekas hingga kini. Guru dihormati karena guru sayang kepada muridnya. Waktu aku sedang malas sekolah aku pura-pura sakit dan tidak pergi ke sekolah. Siangnya, Bu Guruku datang menjenguk ke rumah, dan berkata, “istirahat yah, mudah-mudahan besok bisa kembali ke sekolah.” Padahal sakitku hanya pura-pura, dan Bu Guru pasti tahu itu, tapi tidak mau menampakkan keadaan yang sebenarnya. Kontan dalam hati aku malu, sehingga mulai keesokan harinya aku bertekad tak akan malas pergi ke sekolah. Aku bisa merasakan betapa sayangnya Guruku kepadaku. 

Naik ke tingkat MTs, aku beruntung bisa menjajakan kaki di lingkungan orang pintar. Guru-guru waktu itu adalah orang kreatif semua. Supel dan begitu cerdas mendidik anak ajarnya. Satu orang kini sudah bergelar doctor, satu menjadi pelatih grup paduan suara, ada satu yang menjadi pemimpin lembaga / sekolah swasta. Juga ada satu orang yang masih menjadi guru tapi merangkak jadi politisi, sementara yang lainnya bergelut asyik di bidang masing-masing, sambil jadi guru pula. Itulah mungkin alasan kenapa cita-cita menjadi guru semakin melekat. Bayanganku saat itu, kalau aku menjadi guru, bisa sambil punya pekerjaan lain, dan yang tergambar dalam imaji aku kecil adalah, jika aku menjadi guru aku bisa sambil menjadi ketua MPR. Mimpi yang sangat hebat. 

Cita-cita menjadi guru semakin membekas tatkala aku duduk di bangku Aliyah. Kali ini penyebab utamanya bukan kagum pada sosok guru, melainkan kesal pada sosok salah seorang pedagog alias pendidik di sekolah. Beberapa minggu menjelang ujian akhir nasional, seorang guru malah ogah-ogahan memberikan pelajaran, padahal saat itu aku sedang punya motivasi tinggi untuk bisa memahami pelajaran yang diampunya. Apalagi, mata pelajaran yang dipegang Guru itu adalah mata pelajaran yang aku sukai. Saat itulah kebanggaan dan kekagumanku kepada sosok guru mulai memudar, ternodai oleh sikap seorang guru yang seakan acuh terhadap muridnya. Aku kecewa. Sosok guru yang selama ini kupandang selalu mengayomi muridnya, malah terkesan mengabaikan. 

Kekecewaanku itulah yang akhirnya membuat aku memilih melanjutkan kuliah di jurusan pendidikan. Tentu saja dengan tekad ingin memperbaiki kesalahan guruku yang telah mengabaikan semangat belajarku. Kini, sudah lewat tiga tahun aku belajar tentang pendidikan, dan aku menikmatinya. Aku merasa beruntung. Di sela keberuntunganku bisa menjajakan kaki, merebahkan badan sambil menyerap hal baru yang seharusnya aku dapatkan di kampus Sunan Gunung Djati ini, aku beruntung bisa belajar langsung tentang dunia pendidik dan kependidikan. Ini sebuah hal yang mesti disyukuri. Yang sebenarnya amanat. Sungguh sangat besar. Semoga bisa kuselesaikan dengan baik, dan berakhir dengan pencapaian yang baik pula. Cita-citaku kini tak sekedar menjadi guru, tapi lebih dari itu, aku berharap bisa sampai menjadi guru besar. Syukur-syukur kalau bisa seperti cita-cita awalku, menjadi guru merangkap menjadi ketua MPR. 

Tapi sungguh, aku belum tahu pasti harus kemana kulangkahkan pijakan kakiku selanjutnya. Belum jelas. Samar. Aku tak faham kemana aku harus berlabuh. Makanya dalam tulisan ini kububuhkan juga “mohon pertolongan” kepada dosen-dosen, guru-guruku, guru besarku yang nampaknya sudah lebih mengerti jalan hidup dan sudah lebih jauh melangkah ketimbang jejak kakiku. Aku sangat mengharap masukan dan dukungannya supaya aku bisa mencapai apa yang aku cita-citakan. Supaya aku bisa menjadi bagian dari peradaban yang dinantikan orang.

Baca:
Jalan Setapak Menuju Masa Depan
Previous
This is the oldest page
Thanks for your comment