JALAN SETAPAK MENUJU MASA DEPAN


TIDAK naik kendaraan bermotor atau rakit sekalipun, hanya berjalan dengan menapakan kaki saja dari pelataran rumah menuju cita-cita yang sudah lama disimpan. Setiap langkah menambah keteguhan. Bahkan, semakin jauh jarak yang ditempuh semakin banyak pula mimpi baru, cita cita baru. Tak perlu khawatir untuk mencoba bermimpi lagi. Subuh ini, ketika hari masih gelap, matahari pun belum nampak, aku mencoba menggali ingatan yang sudah tertimbun lama di kepala. Semoga kisah ini menjadi sejarah unik, terlebih bisa menjelaskan pribadiku yang belum mencapai utuh.... 


Itulah serentetan kisah yang mengupgrade kepercayaanku pada tercapainya mimpi. Dalam bermimpi aku makin mengerti, manusia harus makin banyak dan sering bercita-cita. Semakin yakin pada cita cita, semakin terarah pula jalan yang akan kita lalui di depan. 

Masa depan bisa ditentukan sendiri. Tak peduli mimpi itu setinggi langit, dapat setengahnya saja, mungkin ada di bulan. Tetapi kalau bercita-cita ke bulan, lima puluh persennya paling juga nyentuh puncak Himalaya. Tapi lumayan, daripada orang yang bermimpi setinggi bukit, hasilnya walaupun 70% Cuma sampai ujung pohon kelapa. Yang kasihan bagi yang tidak mau bermimpi. Tak dapat hasil, tak normal pula. Ia akan tergantung di tiang kehidupannya sendiri, tanpa tujuan, tanpa pencapain. Ya setidaknya dengan cita-cita, walaupun mungkin gagal setidaknya hasil yang didapat tak begitu jauh dengan cita-cita. Itulah konsepku tentang mimpi. 

Tentang Konsep Diri 

 Hingga saat ini aku kadang tak mampu membedakan diri sendiri dengan orang lain oleh karena tidak mahir menunjukan identities pribadi. Selain itu, walaupun ada sesuatu yang terlihat menonjol, tak begitu berguna, sebab di tempat lain selalu saja ada orang yang lebih pandai, lebih cakap, lebih mahir, lebih dari kemampuan yang aku miliki. Maka tak hentinya aku membatin “apa beda aku dengan orang lain”, efeknya cukup menggangu, selama aku berpikir seperti itu, aku tak bisa merdeka, sulit berekspresi. Lain kata aku hanya menjadi konsumsi bahkan korban orang lain. 

Untunglah, masa lalu membantu menyembuhkan kepincanganku itu. Jika sempurna betul menilai apa yang sudah kukerjakan dulu, nampaknya ada sesuatu yang “lebih”. Banyak hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Biarpun ada, pola berpikirku menganggap akulah yang lebih. Saat berpikir seperti itu, barulah aku berhasil menunjukan identitas walau hanya sepotong. 

Menuju Harkat Diri 

Perkara inilah yang paling sulit diungkapkan. Masalahnya hanya satu: kurang percaya diri. Bukan hanya dikertas, di kehidupan sehari-hari juga sering merusak. 

Tetapi aku punya cara jitu menghajar kuman satu ini. Cukup aku berbangga diri dengan cita-cita yang akan kuhampiri. Sedikit memuji diri, bersyukur, dan menjadikan pencapaian selama ini menjadi bukti prestasi, bahwa aku pernah hidup dan bisa bahagia. 

Banyak orang yang tidak bisa memberi penghargaan pada prestasi dan pada dirinya. Mereka kadang menjengkelkan, hanya membuang kesempatan yang belum tentu orang lain dapat merasakannya. Untung aku tidak. Prinsip yang kudapat kugunakan untuk memaksimalkan kesempatan itu. Ah, akuPD saja. 

Tentang Prestasi Hari Ini 

Bisa dibilang, prestasi yang kudapat belakangan itu adalah yang kupikirkan hari itu. Aku tidak merencanakan hari esok kecuali yang aku inginkan. Makanya banyak manfaat pula aku dapat. Untunglah, aku ditakdirkan sadar pada masa depan dan citra diri. Narsis dikit kadang perlu, menjadikan hidup penuh sensasi, bisa juga menjadi darah daging. 

Hubungan kausalitas mungkin akan goyah, aku tak peduli lagi dengan hukum ini. Kalau sebab itu menimbulkan akibat, justru akibat itu adalah yang menjadikan adanya sebab. Entahlah, yang penting masa depan ber pengaruh buat hari ini, sekarang dan beberapa langkah kedepan. Puiih, hidupku menyenangkan. #tulisaniniuntukmenghiburdiri

Baca Juga:
Dahsyatnya Cita-Cita
Previous
Next Post »
Thanks for your comment